Judul: Pacar Merah Indonesia
Pengarang : Matu Mona
Penerbit : Beranda Publishing
Cetakan : Kedua, Februari 2010
Tebal : 272 halaman
ISBN : 978-979-13013-3-7
Pengarang : Matu Mona
Penerbit : Beranda Publishing
Cetakan : Kedua, Februari 2010
Tebal : 272 halaman
ISBN : 978-979-13013-3-7
Buku ini saya beli beberapa tahun
lalu dan sudah saya abaca tuntas. Rasa kangen akan sebuah karya yang berkualitas
sedikit terobati ketika saya selesai membaca buku ini, pasalnya saat ini saya
sangat jarang menemui sebuah novel berlatar belakang sejarah yang berbobot
seperti novel ini.
Sebuah roman dengan latar belakang
waktu sekitar tahun 1930 an yang bercerita seorang tokoh pergerakan
kemerdekaan, Tan Malaka. Sepak terjangnya yang menjadi buronan Interpol disajikan
dalam bentuk roman di novel ini.
Kisah petualangan ini dibumbui
juga dengan cerita percintaan antara Pacar Merah dan Ninon Phao. Perempuan ini
berusaha keras merebut hati Pacar Merah dan ingin mengikuti ke mana pun ia
pergi. Akan tetapi, demi perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan tanah
airnya, Pacar Merah menolak dengan halus cinta Ninon dan tetap menganggapnya
sebagai adik kandung sendiri. Selain itu, tokoh Pacar Merah digambarkan
memiliki kelebihan seperti kemampuan meramal, berubah-ubah sosok, dan berpindah
tempat secara gaib.
Harry A Poeze menyatakan bahwa Pacar Merah Indonesia adalah sebuah kisah yang menggabungkan antara fakta dan fiksi. Roman petualangan yang mengambil latar kejadian tahun 1930-1932 ini menampilkan beberapa fakta sejarah tentang gerakan komunis dan kiri radikal di Hindia Belanda dan fiksi spionase, politik, dan percintaan. Tokoh utama cerita ini, Pacar Merah, adalah julukan untuk Tan Malaka yang sering kali dianggap sebagai tokoh misterius dalam pergerakan Indonesia. Tan Malaka juga hidup dalam pelarian terus menerus, terutama setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gagal tahun 1926 dan 1927.
Pengarangnya sendiri, Matu Mona,
mengatakan kepada Poeze bahwa ia mendapatkan bahan-bahan untuk menulis cerita
itu dari empat atau lima pucuk surat Tan Malaka kepada Adinegoro, Pemimpin
Redaksi Pewarta Deli. Dalam surat-surat itu, Tan Malaka mengisahkan
pengembaraannya dan gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan Indonesia. Adinegoro
memperlihatkan surat-surat tersebut kepada Matu Mona yang ketika itu menjadi
redaktur Pewarta Deli.
Secara keseluruhan novel ini
wajib dimiliki, gagasan tentang kemerdekaan dan alur cerita yang menantang
merupakan nilai lebih selain latar belakang sejarah pergerakan kemerdekaan yang
menjadi sentral di buku ini. Bagi penyuka sejarah, membaca buku ini akan sangat
menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar