Powered By Blogger

Senin, 15 Januari 2018

Resensi Buku : (Novel) Pacar Merah Indonesia







Judul: Pacar Merah Indonesia
Pengarang : Matu Mona
Penerbit : Beranda Publishing
Cetakan : Kedua, Februari 2010
Tebal : 272 halaman
ISBN : 978-979-13013-3-7

Buku ini saya beli beberapa tahun lalu dan sudah saya abaca tuntas. Rasa kangen akan sebuah karya yang berkualitas sedikit terobati ketika saya selesai membaca buku ini, pasalnya saat ini saya sangat jarang menemui sebuah novel berlatar belakang sejarah yang berbobot seperti novel ini.

Sebuah roman dengan latar belakang waktu sekitar tahun 1930 an yang bercerita seorang tokoh pergerakan kemerdekaan, Tan Malaka. Sepak terjangnya yang menjadi buronan Interpol disajikan dalam bentuk roman di novel ini.

Kisah petualangan ini dibumbui juga dengan cerita percintaan antara Pacar Merah dan Ninon Phao. Perempuan ini berusaha keras merebut hati Pacar Merah dan ingin mengikuti ke mana pun ia pergi. Akan tetapi, demi perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan tanah airnya, Pacar Merah menolak dengan halus cinta Ninon dan tetap menganggapnya sebagai adik kandung sendiri. Selain itu, tokoh Pacar Merah digambarkan memiliki kelebihan seperti kemampuan meramal, berubah-ubah sosok, dan berpindah tempat secara gaib.


Harry A Poeze menyatakan bahwa Pacar Merah Indonesia adalah sebuah kisah yang menggabungkan antara fakta dan fiksi. Roman petualangan yang mengambil latar kejadian tahun 1930-1932 ini menampilkan beberapa fakta sejarah tentang gerakan komunis dan kiri radikal di Hindia Belanda dan fiksi spionase, politik, dan percintaan. Tokoh utama cerita ini, Pacar Merah, adalah julukan untuk Tan Malaka yang sering kali dianggap sebagai tokoh misterius dalam pergerakan Indonesia. Tan Malaka juga hidup dalam pelarian terus menerus, terutama setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gagal tahun 1926 dan 1927.

Pengarangnya sendiri, Matu Mona, mengatakan kepada Poeze bahwa ia mendapatkan bahan-bahan untuk menulis cerita itu dari empat atau lima pucuk surat Tan Malaka kepada Adinegoro, Pemimpin Redaksi Pewarta Deli. Dalam surat-surat itu, Tan Malaka mengisahkan pengembaraannya dan gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan Indonesia. Adinegoro memperlihatkan surat-surat tersebut kepada Matu Mona yang ketika itu menjadi redaktur Pewarta Deli.


Secara keseluruhan novel ini wajib dimiliki, gagasan tentang kemerdekaan dan alur cerita yang menantang merupakan nilai lebih selain latar belakang sejarah pergerakan kemerdekaan yang menjadi sentral di buku ini. Bagi penyuka sejarah, membaca buku ini akan sangat menyenangkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar