Penulis :
E.R Asura
Penyunting
: Pustaka Iman
Genre :
Fiksi Sejarah
Penerbit
: Moka Media
Halaman
: 428 Halaman
ISBN :
9786027926059
Sebenarnya buku ini sudah
lama saya beli dan sudah habis terbaca, namun baru kali ini saya coba
me-resensinya. Ketertarikan saya terhadap novel yang satu ini karena
ketertarikan saya akan sejarah. Apalagi novel ini menceritakan dalah satu tokoh
idola saya, Pangeran Diponegoro.
Konflik perebutan khas
tahta keraton nusantara tersaji gamblang di novel ini. Walaupun fiksi, namun
latar belakang sejarahnya adalah kenyataan yang ada. Sang dictator Sultan Rama
(Sultan Hamengkubuwono ke II) ditampilkan sebagai seorang yang berpendirian
kuat dan tegas menjunjung tradisi keraton. Sedangkan karakter Sultan
Hamengkubuwono ke III ditampilkan sebagai seorang yang ragu-ragu dan sedikit
mendukung politik kerajaan Belanda.
Anak Hamengkubuwono III
dari selir, Pangeran Diponegoro sebagai tokoh utama dalam novel ini sangat kuat
karakternya. Pemikirannya memiliki visi jauh kedepan walaupun masih berusia
muda dan penulis seakan-akan mengambil sebagian sifat dari Sultan Rama pada
diri Pangeran DIponegoro.
Persinggungan dengan
Kanjeng Ratu Ageng, para ulama dan rakyat biasa, menorehkan pengalaman batin
yang lengkap bagi Raden Ontowiryo kelak dikenal sebagai
Pangeran Diponegoro. Kanjeng Ratu Ageng menjadi patron spiritualisme bagi Raden
Ontowiryo dengan tokoh Arjunanya. Para ulama memberi wawasan keislaman yang
diharmonisasi dengan mistik Jawa dengan Nabi Muhammad Saw.
sebagai jalan tempuhnya. Dan rakyat biasa telah menularkan kehalusan pekerti.
Saat ketiganya berkelindan, justru ia sering kali gamang melihat kenyataan
penderitaan rakyat kian memuncak, kekisruhan keraton yang semakin memudarkan
karismanya, dan bau amis darah yang semakin terasa dekat, sehingga tak memiliki
ruang untuk mencari pembenaran di hadapan Gusti Allah. Rentang 1800-1812
menjadi masa kalabendu sekaligus akan mewujudnya ramalan Parang Kusumo dan
Kanjeng Sunan Kalijogo di bumi Mataram.
Buku ini memang
menceritakan sepak terjang Pangeran Diponegoro dalam “memulai” perang Jawa.
Perang yang membuat bangkrut VOC serta Kerajaan Belanda. Sejak masih di
pesantren, Pangeran Diponegoro sudah menebar benih persatuan rakyatnya. Dibumbui
oleh kisah percintaan sorang prajurit wanita, kemudian bagaimana seorang
saudagar tiongkok menjadi kepercayaan Belanda di keraton sampai lemahnya sang
Sultan Hamengkubuwono IV dalam adu politik dengan Belanda mewarnai alur cerita
di novel ini.
Namun ada yang membuat saya
kurang nyaman selama membaca novel ini, terkadang alur cerita yang disajikan
kurang “nyambung” secara keseluruhan. Mungkin sang penulis bermaksud untuk
memberikan suguhan misteri kepada membaca, tapi menurut saya kurang pas.
Ditambah Bahasa yang disajikan kurang enak dibaca. Dibandingkan dengan novel
dari LKH, kualitas tuliasan novel ini masih jauh dari kata sempurna.
Secara keseluruhan novel
ini wajib dikoleksi para penyuka sejarah. Ada gambaran lain dimana sang legenda
Diponegoro memperjuangkan kebenaran. Dari novel ini “mungkin” pembaca bisa
menemukan realita sejarah yang belum diketahui. Suatu prestasi sendiri bagi
sang penulis yang bisa menyatukan kenyataan sejarah dengan roman fiksi sehingga
batas kenyataan dan fiki itu sendiri tak berbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar