Powered By Blogger

Kamis, 04 Januari 2018

Snouck Hurgronje


Perjalanan pulang saya dari office to home penuh dengan perjuangan yang menyenangkan. Berhimpitan dengan sesama manusia di salah satu rangkaian commuter line menjadikan saya semakin bertambah paham kenapa manusia diciptakan berbeda-beda. Untuk mengisi waktu luang biasanya saya mendengarkan musik sambil membaca. Berita, artikel bahkan novel biasanya menjadi rutinitas di dalam gerbong kereta.

Kemarin sore ketika saya membuka halaman facebook, ada yang memposting tentang salah satu tokoh yang kontroversial di Indonesia. Pertama kali mendengar namanya ketika saya berada di tingkat pertama masa kuliah. Dosen Hukum Islam saya waktu itu pernah beberapa kali menyebut namanya. Snouck Hurgronje, manusia yang menjadi kontroversi pada masanya di bumi Hindia Belanda.

Dari berbagai sumber yang pernah saya baca, saya coba menuliskan sepak terjang tokoh ini. Snouck Hurgronje dilahirkan di Oosterhout pada 8 Februarl 1857 dan meninggal di Leiden 15 Juni 1936. la dibesarkan di tengah keluarga pendeta terkemuka Protestan yang sangat konvensional dan ortodok. Snouck belajar di Leiden yang lingkungannya saat itu sudah sangat liberal. Kala itu ilmu perbandingan agama dan perbandingan sejarah agama yang berkembang di Eropa sangat dipengaruhi oleh teori-teori evolusi Charles Darwin, yang melahirkan suatu teori kebudayaan, yang bahwa kebudayaan Eropa dan agama Kristen merupakan titik puncak dari proses perkembangan kebudayaan dunia.

Sebagai sarjana dan pakar Islamologi, Snouck pada 1894 mendapatkan semacam tugas dari Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda untuk belajar bahasa Melayu ke Arab. Karena Kementerian Negeri Belanda saat itu mengalami kesulitan untuk mengirimkan orang-orang konsultannya ke negeri jajahannya di Asia, terutama di Nusantara bagian Asia Tenggara. Snouck yang sudah dianggap sangat memahami soal-soal umat Islam dipandang cocok untuk ditugaskan ke negeri jajahannya di Nusantara, tapi Snouck waktu itu belum bisa berbahasa Melayu. Oleh kerenanya, ia harus belajar dulu bahasa Melayu ke Arab pada orang-orang Nusantara yang ada di Arab.

Selama di Arab, enam bulan pertama Snouck tinggal di Jeddah, la berhasil bergaul dengan ulama-ulama asal Nusantara (Indonesia) sambil terus belajar bahasa Melayu. Seorang ulama Nusantara yang paling dekat dengan Snouck di Jeddah waktu itu adalah Reden Aboe Bakar Djajadiningrat asal Priangan, Jawa Barat. Malah atas saran dan bujukan Aboe Bakar ini Snouck Hurgronjen kemudian masuk agama Islam di rumah Aboe Bakar di Jeddah pada 4 Januari 1885. Dan bahkan yang memberikan nama Abdul Ghafar untuk Snouck Hurgronje setelah masuk agama Islam ialah Raden Aboe Bakar itu.

Berita Snouck masuk Islam di Arab yang berganti nama Abdul Ghafar menjadi berita santer di kalangan orientalis dunia. Mereka seakan tak percaya kalau Snouck Hurgronje telah masuk Islam secara terang-terangan. Sebab mereka (para orientalis) ini belum menemukan dukumen resmi pengukuhan Snouck masuk Islam. Karena yang mereka tahu Snouck pergi ke Arab (Mekkah) bukan untuk masuk Islam, melainkan untuk belajar agama Islam.

Sebab, bagi Snouck, Islam adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari secara sungguh-sungguh, dan harus diperlakukan dengan bijaksana oleh pihak Kolonial Belanda. Makanya tak heran, kalau selama di Arab Snouck bekerja keras menuntut ilmu pengetahuan agama Islam. Hampir semua kitab tafsir seperti Tafsir al-Baidhawi, Tafsir al-Bajuri, Al-Ikna’ dan kitab Tuhfah dipelajari sungguh-sungguh dan mendalam oleh Snouck, terutama setelah Snouck pindah ke Mekkah dari Jeddah pada enam bulan kedua ke datangannya ke Arab.

Selama tinggal di Mekkah, Snouck bergaul dengan ulama-ulama besar setempat, sampai kemudian ia kembali ke Belanda pada 1885. Tiga tahun setelah Snouck kembali ke negerinya itu, ia berhasil menerbitkan dua jilid buku dengan judul Mekkah. Ketika buku itu diedarkan, maka nama Snouck Hurgronje pun tersohor ke seluruh dunia. Buku itu dianggap sangat penting bagi tujuan politik kolonial di dunia.

Bertugas di Aceh
Ketika koloni Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) didirikan pada tahun 1800, agama monoteistik dominan bagi sebagian besar masyarakat adat di Hindia Nusantara yang adalah Islam. Karena sinkretisme agama yang kuat, bentuk Islam dicampur dengan unsur-unsur dari agama yang lebih tua. Pedagang Arab dan peziarah haji yang kembali dari Mekkah, banyak dinyatakan interpretasi Islam yang lebih ortodoks. Hal ini menyebabkan munculnya varian ketat dari Islam dengan sebutan 'santri' dengan muslim yang lainnya disebut "abangan".

Kebanyakan gereja-gereja Kristen berpegang pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Protestan dan Katolik misi menunjukkan interpretasi dalam mengikuti strategi pemerintah, tetapi tetap menikmati otonomi yang cukup. Selain itu kolonialisme Belanda tidak pernah didasarkan pada kefanatikan agama. Namun selama abad ke-19 misionaris Kristen menjadi semakin aktif, secara teratur mengarah ke bentrokan atau gesekan, antara Kristen dan Islam dan antara denominasi Kristen yang berbeda.

Hubungan antara pemerintah dan Islam dalam keadaan tidak nyaman. Kekuatan kolonial Belanda menggunakan prinsip pemisahan gereja dan negara dan ingin tetap netral dalam urusan agama. Namun yang sama pentingnya adalah keinginan untuk menjaga perdamaian dan ketertiban yang mana Islam adalah sumber awal inspirasi untuk memberontak melawan pemerintahan kolonial. Motif sosial dan politik terkait dengan keinginan agama berulang kali meledak menjadi kerusuhan dan perang seperti Perang Padri (1821-1837) dan Perang Aceh (1873-1904) di Sumatera.

Mekkah memang tidak hanya telah memberikan inspirasi bagi lahirnya dua buku itu yang ditulis Snouck, tapi Mekkah juga telah membuat Snouck Hurgronje menjadi awal pemahamannya terhadap Aceh. Selama di Mekkah, Snouck menjalin hubungan akrab dengan seorang ulama asal Aceh bernama Habib Abdurrahman Az-Zahir. Ulama ini adalah bekas penasehat utama Sultan Aceh, yaitu Sultan Alaiddin Mahmudsyah (1870-1874 M). Namun karena diragukan integritasnya sebagai perantara dalam hubungan antara Sultan Aceh dengan pihak Belanda, maka Habib Abdulrahman dipecat oleh Sultan Aceh. Tetapi pemerintah Belanda memberikan pensiun kepada Habib Abdurrahman untuk hidup dan tinggal di Mekkah.

Dari dasar pemahamannya terhadap Aceh di Mekkah, maka ketika Snouck mengetahui berkecamuknya perang Aceh melawan Belanda, Snouck menawarkan diri pada Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda agar ia dapat ditugaskan ke Aceh. Maka pada 1889, Snouck mendapat kesempatan pertama bertugas di Batavia (Jakarta sekarang). Gubernur Jenderal C Picnaeker Hordijk di Batavia waktu itu nnengangkat Snouck menjadi Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam bagi Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.

Tahun 1893 Snouck ditugaskan ke Aceh dengan tugas utamanya untuk menyusun saran-sarannya terhadap penyelesaian perang Aceh dengan Belanda. Pertama sekali Snouck tinggal di Aceh adalah di Ulee Lheue sebagai tempat yang menjadi markas utama militer Belanda. Di Ulee Lheue inilah Snouck berhasif menyususun sebuah laporan pertamanya tentang Aceh, yaitu Atjeh Verslag sebagal laporan yang menjadi dasar kebijakan polilik dan militer Belanda dalam menghadapi Aceh.

Menurut van Koningsveld, bagian pertama laporan Snouck tentang Aceh berupa uraian antropologi masyarakat Aceh, pengaruh Islam sebagai dasar keyakinan orang Aceh, serta peranan ulama dan Uleebalang dalam masyarakat Aceh. Dalam laporan itu Snouck juga menguraikan bahwa perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, Sedangkan Uleebalang menurut Snouck bisa diajak menjadi calon sekutu Belanda, karena kepentingannya adalah berniaga.

Snouck juga menulis bahwa Islam bagi masyarakat Aceh juga harus dinilai negatif, karena Islam bisa membangkitkan fanatisme anti Belanda di kalangan rakyat Aceh. Karenanya, para pemuka agama dalam masyarakat Aceh hendaknya dapat ditumpas agar pengaruh Islam menjadi tipis di Aceh. Dengan demikian para Uleebalang menurut Snouck akan mudah diajak bersekutu dengan Belanda.

Satu kegagalan pemerintah Belanda di Aceh, menurut Snouck adalah akibat tidak adanya pengetahuan Belanda terhadap Aceh sebagai wilayah Islam. Itu sebabnya, ketika Snouck bertugas di Aceh, di samping mempelajari karakter masyarakatnya secara antropologis (adat dan budaya Aceh), ia juga mengkaji kitab-kitab para ulama Aceh. Di antaranya kitab Umdatu al-Muhtajin karangan Syekh Abdul Rauf Syiah Kuala, sebagai kitab yang dianggap Snouck sangat berpengaruh bagi pengembangan Tarekat Syatariyah di Aceh.

Kembali di Belanda Snouck diterima beberapa profesor di Universitas Leiden, termasuk bahasa Arab, bahasa Aceh dan pendidikan Islam. Dia terus menghasilkan banyak studi akademis yang rumit dan menjadi otoritas internasional pada semua hal yang berkaitan dengan dunia Arab dan agama Islam. Saran ahli tentang isu-isu mendesak sering dicari oleh negara-negara Eropa lainnya dan banyak karyanya sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis dan Inggris. Pada tahun 1925 ia bahkan menawarkan guru besar di Mesir Universitas Nasional bergengsi di Kairo, universitas utama di Timur Tengah. Pada tahun 1927 ia mengundurkan diri sebagai Rektor magnificus dan profesor, tetapi tetap aktif sebagai penasihat hingga kematiannya di Leiden pada 1936.

Selama dan setelah masa akademisnya Snouck tetap menjadi penasihat kolonial progresif dan kritikus. Visi reformis untuk memecahkan tantangan hubungan abadi antara Belanda dan Hindia didasarkan pada prinsip asosiasi. Untuk mencapai hubungan masa depan ini dan mengakhiri pemerintahan dualis ada Hindia Belanda, ia menganjurkan otonomi peningkatan melalui pendidikan barat elit pemerintahan adat. Pada tahun 1923 ia menyerukan: "reformasi Kuat dari konstitusi Hindia Belanda" di mana "kita harus istirahat dengan konsep inferioritas moral dan intelektual pribumi" dan memungkinkan mereka "tubuh demokratis yang bebas dan representatif dan otonomi optimal". Unsur-unsur konservatif di Belanda bereaksi dengan membiayai sebuah sekolah alternatif bagi Pegawai Negeri Sipil di Colonial Utrecht.

Paling tidak Snouck Hurgronje menjadi salah satu pemicu bersatunya umat muslim di Nusantara kala itu. Sepek terjangnya di Acem memberikan wacana baru bagu kamu intelektual muslim. Namanya memang menjadi bahasan setiap perkumpulan muslim hingga saat ini. Allah memang memiliki rencana yang tidak dipahami manusia, mengirimkan “iblis” untuk menyatukan kekuatan iman muslim Indonesia.

* diambil dari beberapa sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar