Perjalanan pulang saya dari
office to home penuh dengan perjuangan yang menyenangkan. Berhimpitan dengan sesama
manusia di salah satu rangkaian commuter line menjadikan saya semakin bertambah
paham kenapa manusia diciptakan berbeda-beda. Untuk mengisi waktu luang
biasanya saya mendengarkan musik sambil membaca. Berita, artikel bahkan novel
biasanya menjadi rutinitas di dalam gerbong kereta.
Kemarin sore ketika saya membuka
halaman facebook, ada yang memposting tentang salah satu tokoh yang
kontroversial di Indonesia. Pertama kali mendengar namanya ketika saya berada
di tingkat pertama masa kuliah. Dosen Hukum Islam saya waktu itu pernah
beberapa kali menyebut namanya. Snouck Hurgronje, manusia yang menjadi
kontroversi pada masanya di bumi Hindia Belanda.
Dari berbagai sumber yang pernah saya
baca, saya coba menuliskan sepak terjang tokoh ini. Snouck Hurgronje dilahirkan
di Oosterhout pada 8 Februarl 1857 dan meninggal di Leiden 15 Juni 1936. la
dibesarkan di tengah keluarga pendeta terkemuka Protestan yang sangat
konvensional dan ortodok. Snouck belajar di Leiden yang lingkungannya saat itu
sudah sangat liberal. Kala itu ilmu perbandingan agama dan perbandingan sejarah
agama yang berkembang di Eropa sangat dipengaruhi oleh teori-teori evolusi
Charles Darwin, yang melahirkan suatu teori kebudayaan, yang bahwa kebudayaan
Eropa dan agama Kristen merupakan titik puncak dari proses perkembangan
kebudayaan dunia.
Sebagai sarjana dan pakar
Islamologi, Snouck pada 1894 mendapatkan semacam tugas dari Kementerian Urusan
Jajahan Negeri Belanda untuk belajar bahasa Melayu ke Arab. Karena Kementerian
Negeri Belanda saat itu mengalami kesulitan untuk mengirimkan orang-orang
konsultannya ke negeri jajahannya di Asia, terutama di Nusantara bagian Asia
Tenggara. Snouck yang sudah dianggap sangat memahami soal-soal umat Islam
dipandang cocok untuk ditugaskan ke negeri jajahannya di Nusantara, tapi Snouck
waktu itu belum bisa berbahasa Melayu. Oleh kerenanya, ia harus belajar dulu
bahasa Melayu ke Arab pada orang-orang Nusantara yang ada di Arab.
Selama di Arab, enam bulan
pertama Snouck tinggal di Jeddah, la berhasil bergaul dengan ulama-ulama asal
Nusantara (Indonesia) sambil terus belajar bahasa Melayu. Seorang ulama
Nusantara yang paling dekat dengan Snouck di Jeddah waktu itu adalah Reden Aboe
Bakar Djajadiningrat asal Priangan, Jawa Barat. Malah atas saran dan bujukan
Aboe Bakar ini Snouck Hurgronjen kemudian masuk agama Islam di rumah Aboe Bakar
di Jeddah pada 4 Januari 1885. Dan bahkan yang memberikan nama Abdul Ghafar
untuk Snouck Hurgronje setelah masuk agama Islam ialah Raden Aboe Bakar itu.
Berita Snouck masuk Islam di Arab
yang berganti nama Abdul Ghafar menjadi berita santer di kalangan orientalis
dunia. Mereka seakan tak percaya kalau Snouck Hurgronje telah masuk Islam
secara terang-terangan. Sebab mereka (para orientalis) ini belum menemukan
dukumen resmi pengukuhan Snouck masuk Islam. Karena yang mereka tahu Snouck
pergi ke Arab (Mekkah) bukan untuk masuk Islam, melainkan untuk belajar agama
Islam.
Sebab, bagi Snouck, Islam adalah
suatu kekuatan yang harus dipelajari secara sungguh-sungguh, dan harus
diperlakukan dengan bijaksana oleh pihak Kolonial Belanda. Makanya tak heran,
kalau selama di Arab Snouck bekerja keras menuntut ilmu pengetahuan agama
Islam. Hampir semua kitab tafsir seperti Tafsir al-Baidhawi, Tafsir al-Bajuri,
Al-Ikna’ dan kitab Tuhfah dipelajari sungguh-sungguh dan mendalam oleh Snouck,
terutama setelah Snouck pindah ke Mekkah dari Jeddah pada enam bulan kedua ke
datangannya ke Arab.
Selama tinggal di Mekkah, Snouck
bergaul dengan ulama-ulama besar setempat, sampai kemudian ia kembali ke
Belanda pada 1885. Tiga tahun setelah Snouck kembali ke negerinya itu, ia
berhasil menerbitkan dua jilid buku dengan judul Mekkah. Ketika buku itu
diedarkan, maka nama Snouck Hurgronje pun tersohor ke seluruh dunia. Buku itu
dianggap sangat penting bagi tujuan politik kolonial di dunia.
Bertugas di Aceh
Ketika koloni Hindia Belanda (sekarang:
Indonesia) didirikan pada tahun 1800, agama monoteistik dominan bagi sebagian
besar masyarakat adat di Hindia Nusantara yang adalah Islam. Karena
sinkretisme agama yang kuat, bentuk Islam dicampur dengan unsur-unsur dari
agama yang lebih tua. Pedagang Arab dan peziarah haji yang kembali dari Mekkah,
banyak dinyatakan interpretasi Islam yang lebih ortodoks. Hal ini menyebabkan
munculnya varian ketat dari Islam dengan sebutan 'santri' dengan muslim yang
lainnya disebut "abangan".
Kebanyakan gereja-gereja Kristen
berpegang pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Protestan dan
Katolik misi menunjukkan interpretasi dalam mengikuti strategi pemerintah,
tetapi tetap menikmati otonomi yang cukup. Selain itu kolonialisme Belanda
tidak pernah didasarkan pada kefanatikan agama. Namun selama abad ke-19
misionaris Kristen menjadi semakin aktif, secara teratur mengarah ke bentrokan
atau gesekan, antara Kristen dan Islam dan antara denominasi Kristen yang
berbeda.
Hubungan antara pemerintah dan
Islam dalam keadaan tidak nyaman. Kekuatan kolonial Belanda menggunakan prinsip
pemisahan gereja dan negara dan ingin tetap netral dalam urusan agama. Namun
yang sama pentingnya adalah keinginan untuk menjaga perdamaian dan ketertiban
yang mana Islam adalah sumber awal inspirasi untuk memberontak melawan
pemerintahan kolonial. Motif sosial dan politik terkait dengan keinginan agama
berulang kali meledak menjadi kerusuhan dan perang seperti Perang Padri (1821-1837)
dan Perang Aceh (1873-1904) di Sumatera.
Mekkah memang tidak hanya telah
memberikan inspirasi bagi lahirnya dua buku itu yang ditulis Snouck, tapi
Mekkah juga telah membuat Snouck Hurgronje menjadi awal pemahamannya terhadap
Aceh. Selama di Mekkah, Snouck menjalin hubungan akrab dengan seorang ulama
asal Aceh bernama Habib Abdurrahman Az-Zahir. Ulama ini adalah bekas penasehat
utama Sultan Aceh, yaitu Sultan Alaiddin Mahmudsyah (1870-1874 M). Namun karena
diragukan integritasnya sebagai perantara dalam hubungan antara Sultan Aceh
dengan pihak Belanda, maka Habib Abdulrahman dipecat oleh Sultan Aceh. Tetapi
pemerintah Belanda memberikan pensiun kepada Habib Abdurrahman untuk hidup dan
tinggal di Mekkah.
Dari dasar pemahamannya terhadap
Aceh di Mekkah, maka ketika Snouck mengetahui berkecamuknya perang Aceh melawan
Belanda, Snouck menawarkan diri pada Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda
agar ia dapat ditugaskan ke Aceh. Maka pada 1889, Snouck mendapat kesempatan
pertama bertugas di Batavia (Jakarta sekarang). Gubernur Jenderal C Picnaeker
Hordijk di Batavia waktu itu nnengangkat Snouck menjadi Penasehat Resmi Bahasa Timur
dan Hukum Islam bagi Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.
Tahun 1893 Snouck ditugaskan ke
Aceh dengan tugas utamanya untuk menyusun saran-sarannya terhadap penyelesaian
perang Aceh dengan Belanda. Pertama sekali Snouck tinggal di Aceh adalah di Ulee
Lheue sebagai tempat yang menjadi markas utama militer Belanda. Di Ulee Lheue
inilah Snouck berhasif menyususun sebuah laporan pertamanya tentang Aceh, yaitu
Atjeh Verslag sebagal laporan yang menjadi dasar kebijakan polilik dan militer
Belanda dalam menghadapi Aceh.
Menurut van Koningsveld, bagian
pertama laporan Snouck tentang Aceh berupa uraian antropologi masyarakat Aceh,
pengaruh Islam sebagai dasar keyakinan orang Aceh, serta peranan ulama dan
Uleebalang dalam masyarakat Aceh. Dalam laporan itu Snouck juga menguraikan
bahwa perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, Sedangkan Uleebalang menurut
Snouck bisa diajak menjadi calon sekutu Belanda, karena kepentingannya adalah
berniaga.
Snouck juga menulis bahwa Islam
bagi masyarakat Aceh juga harus dinilai negatif, karena Islam bisa
membangkitkan fanatisme anti Belanda di kalangan rakyat Aceh. Karenanya, para
pemuka agama dalam masyarakat Aceh hendaknya dapat ditumpas agar pengaruh Islam
menjadi tipis di Aceh. Dengan demikian para Uleebalang menurut Snouck akan
mudah diajak bersekutu dengan Belanda.
Satu kegagalan pemerintah Belanda
di Aceh, menurut Snouck adalah akibat tidak adanya pengetahuan Belanda terhadap
Aceh sebagai wilayah Islam. Itu sebabnya, ketika Snouck bertugas di Aceh, di
samping mempelajari karakter masyarakatnya secara antropologis (adat dan budaya
Aceh), ia juga mengkaji kitab-kitab para ulama Aceh. Di antaranya kitab Umdatu
al-Muhtajin karangan Syekh Abdul Rauf Syiah Kuala, sebagai kitab yang dianggap
Snouck sangat berpengaruh bagi pengembangan Tarekat Syatariyah di Aceh.
Kembali di Belanda Snouck
diterima beberapa profesor di Universitas Leiden, termasuk bahasa Arab, bahasa
Aceh dan pendidikan Islam. Dia terus menghasilkan banyak studi akademis yang
rumit dan menjadi otoritas internasional pada semua hal yang berkaitan dengan
dunia Arab dan agama Islam. Saran ahli tentang isu-isu mendesak sering dicari
oleh negara-negara Eropa lainnya dan banyak karyanya sudah diterjemahkan ke
bahasa Jerman, Perancis dan Inggris. Pada tahun 1925 ia bahkan menawarkan guru
besar di Mesir Universitas Nasional bergengsi di Kairo, universitas utama di
Timur Tengah. Pada tahun 1927 ia mengundurkan diri sebagai Rektor magnificus
dan profesor, tetapi tetap aktif sebagai penasihat hingga kematiannya di Leiden
pada 1936.
Selama dan setelah masa
akademisnya Snouck tetap menjadi penasihat kolonial progresif dan kritikus.
Visi reformis untuk memecahkan tantangan hubungan abadi antara Belanda dan
Hindia didasarkan pada prinsip asosiasi. Untuk mencapai hubungan masa depan ini
dan mengakhiri pemerintahan dualis ada Hindia Belanda, ia menganjurkan otonomi
peningkatan melalui pendidikan barat elit pemerintahan adat. Pada tahun 1923 ia
menyerukan: "reformasi Kuat dari konstitusi Hindia Belanda" di mana
"kita harus istirahat dengan konsep inferioritas moral dan intelektual
pribumi" dan memungkinkan mereka "tubuh demokratis yang bebas dan
representatif dan otonomi optimal". Unsur-unsur konservatif di Belanda
bereaksi dengan membiayai sebuah sekolah alternatif bagi Pegawai Negeri Sipil
di Colonial Utrecht.
Paling tidak Snouck Hurgronje
menjadi salah satu pemicu bersatunya umat muslim di Nusantara kala itu. Sepek
terjangnya di Acem memberikan wacana baru bagu kamu intelektual muslim. Namanya
memang menjadi bahasan setiap perkumpulan muslim hingga saat ini. Allah memang
memiliki rencana yang tidak dipahami manusia, mengirimkan “iblis” untuk
menyatukan kekuatan iman muslim Indonesia.
* diambil dari beberapa sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar